Mengakses dan menyebarkan informasi di media sosial berikut Pasal dan UUD
1. Mengakses dan menyebarkan informasi di media sosial
● terdapat 6 (enam) jenis media sosial, yaitu :
1. Proyek kolaborasi, merupakan website yang memungkinkan pengguna untuk merubah, menambah, maupun menghapus konten, misalnya : wikipedia
2. Blog dan Microblog, merupakan website atau aplikasi yang memberkan kebebasan bagi pengguna untuk berkreasi dan mengungkapkan pendapat, saran, maupun kritik. Sebagai contoh: website pribadi/ organisasi.
3. Konten, merupakan aplikasi yang memberi kesempatan para pengguna untuk berbagi konten. Contohnya: youtube
4. Jejaring sosial, merupakan aplikasi yang memungkinkan pengguna saling terhubung dan berinteraksi secara virtual, saling berbagi informasi, foto, maupun video. Contoh: Facebook, Instagram, Path, Whatsapp dan Telegram.
5. Virtual game World, merupakan aplikasi yang mereplikasikan lingkungan secara tiga dimensi dan memungkinkan berinteraksi dengan pengguna game lainnya, contoh: berbagai game online.
6. Virtual Social World, merupakan aplikasi semacan virtual game namun pada lingkungan yang sosial yang lebih luas, contohnya : secondlife.
● Media Arus Utama vs Media Sosial
Selama puluhan tahun, media arus utama, mulai dari TV, cetak, hingga radio, menjadi sumber informasi utama masyarakat. Kini, di era teknologi, era internet, era media sosial, media arus utama bukan satu-satunya sumber informasi masyarakat. Media sosial kini turut serta memproduksi dan menyebarluaskan informasi dengan caranya sendiri, yang seringkali tak terduga.
Informasi yang dihasilkan oleh media cetak, radio dan TV diolah para jurnalis dengan berpegang teguh pada kode etik jurnalistik. Mereka memproduksi informasi yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya karena melalui proses cek dan ricek yang cukup panjang sebelum dirilis ke publik. Jika pun ada kesalahan atau kurang akurat, media bertanggungjawab untuk merevisi dan memberikan hak jawab.
Sebaliknya, informasi yang diproduksi dan disebarluaskan di media sosial oleh penggunanya adalah informasi yang tidak perlu memenuhi etika jurnalistik karena mereka memang bukan jurnalis. Pengguna media sosial adalah masyarakat, perorangan, yang dapat memproduksi informasi apa saja di berbagai layanan media sosial. Bahkan beberapa orang kini membuka kanal sendiri di telegram untuk menjaring audience dan menyebarkan informasinya, sebagaimana yang sudah lebih dulu terjadi di Youtube.
Selain memproduksi informasi, netizen juga menyebarkan informasi yang didapat dari media arus utama ke media sosial. Ada yang menyebarkan apa adanya, persis seperti yang disajikan media arus utama. Ada yang menafsir dan menulis ulang sesuai tafsirnya, baru kemudian disebarkan ke media sosial.
di tengah banjir informasi seperti ini bagaimana kita menyaringnya?
1. Jangan hanya membaca judul.
Media online atau versi online media arus utama sangat bergantung pada klik. Semakin banyak klik, semakin terbuka peluang mendapat iklan. Agar mendapat klik tinggi dari media sosial, judul harus dibuat semenarik mungkin. Sayangnya, semenarik mungkin itu bisa terjebak menjadi seprovokatif mungkin, yang seringkali melenceng dari isi berita. Judul berita provokatif tak selalu sama dengan isi berita. Karena itu jangan terkecoh oleh judul. Jika ingin menyebarkannya, baca dulu isinya. Pastikan judul dan isi memang selaras.
2. Cek dan Ricek.
Media boleh memihak. Itu hak media, namun berita yang diproduksinya harus taat kaidah jurnalistik. Pembaca, artinya kita semua, mesti lebih rajin melakukan cek dan ricek terlebih dulu sebelum menjadikannya sebagai referensi. Cek ke media lain, yang menjadi lawannya, bagaimana sudut pandang media tersebut terhadap hal yang sama.
Pada kasus apakah Gubernur DKI, Ahok menghina agama Islam atau tidak ketika bicara di Pulau Seribu, media memiliki sudut pandang yang berbeda. Yang berpendapat tidak menghina, akan mengakomodir berita dan kolom yang mendukung pendapat itu. Sebaliknya yang berpendapat Ahok menghina, rajin membuat berita dan memuat kolom yang sependapat.
Saya biasanya membandingkan informasi dari tiga media yang berbeda untuk menyaring informasi. Jika sebuah berita hanya dimuat di satu atau media, saya cenderung hati-hati menggunakannya sebagai referensi. Jika di tiga media yang berbeda ada kesamaan informasi, barulah saya merasa aman menggunakannya sebagai referensi.
3. Ikuti akun-akun terpercaya.
Kita bisa berkawan banyak di Facebook, bisa mentok sampai 5.000. Kita bebas mengikuti orang lain di Twitter tanpa batasan jumlah, begitu juga di Instagram dan lainnya. Tapi hidup kita akan ruwet jika informasi mengalir terlalu banyak.
Teman di Facebook yang sebenarnya tak pernah kita kenal tapi membanjiri informasi layak di-unfollow, jika enggan untuk unfriend. Demikian pula di Twitter, unfollow saja akun-akun yang berisik dengan informasi tak akurat. Lebih baik kita mengikuti akun-akun terpercaya, meski mereka berbeda pandangan dengan kita.
3. Saring via fasilitas penyaring di media sosial.
Setiap media sosial memiliki fasilitas untuk menyaring informasi, termasuk menyaring kata kunci. Di Twitter, saya menyaringnya dengan cara lain: membuat list akun yang layak dibaca informasinya. Isinya beberapa akun, baik punya kesamaan maupun perbedaan pandangan mengenai isu tertentu, tapi jumlahnya terbatas, paling banyak 100 akun, agar informasi yang mengalir ke otak bersih dari sampah informasi.
Selamat menyaring dan hidup sehat di era digital.
● Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), sebesar 89,35 persen pengguna internet di Indonesia menggunakan internet hanya untuk mengakses aplikasi percakapan (chatting), dan 87,13 persen untuk mengakses media sosial.
Terkait media sosial, kabar buruknya, tentu saja, meskipun media sosial melahirkan sejumlah manfaat, seperti menyambung tali silaturahim, menambah pertemanan dan memperluas jejaring sosial serta relasi bisnis, harus diakui keberadaan situs-situs media sosial ini justru lebih sering dimanfaatkan untuk hal-hal yang tidak produktif.
Salah satu perilaku tidak produktif dalam pemanfaatan media sosial di negeri ini yaitu mengumbar kebencian. Kalau kita buka media sosial, maka selalu saja bisa kita temukan unggahan-unggahan yang bernada kebencian, seperti penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, provokasi, penghasutan, dan penyebaran kabar-kabar bohong, baik yang ditujukan kepada perseorangan, kelompok, maupun lembaga.
Sekarang ini, siapa pun bisa menayangkan apa saja yang dikehendakinya ke media sosial, entah itu berupa teks, gambar, suara, video, maupun melakukan tayangan langsung (live streaming). Meskipun demikian, para pengguna media sosial di negeri ini diharapkan memiliki kemampuan untuk memilih dan memilah mana yang layak dan mana yang tidak layak mereka tayangkan di media sosial.
Generasi muda kita sebagai pengguna terbesar internet sekarang ini dan di masa yang akan datang diharapkan dapat lebih cerdas dan lebih bijak dalam memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Kita sama sekali tidak ingin generasi penerus bangsa ini berperilaku kontraproduktif dan berkarakter buruk yang cuma gemar memaki-maki, menista, memfitnah, menghasut, mengadu domba, gemar menyebarkan kabar-kabar bohong, dan cenderung intoleran serta diskriminatif.
Ini adalah satu tantangan berat bagi para orangtua dan para pendidik kita saat ini. Karenanya, perlu kesadaran semua pihak, termasuk keluarga dan pihak sekolah, untuk dapat semaksimal mungkin mengarahkan anak-anak kita, generasi penerus bangsa, agar mereka mampu menjadi pengguna teknologi digital yang cerdas dan bijak.
Untuk itu, perlu ada upaya membangun dan menanamkan kesadaran digital kepada anak-anak kita sejak dini. Secara sederhana, kesadaran digital dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk menggunakan, memahami, mengevaluasi, menciptakan, dan mengkomunikasikan informasi menggunakan teknologi digital secara tepat guna.
Dengan memiliki kesadaran digital diharapkan individu dapat memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi secara lebih kritis dan lebih bertanggung jawab sehingga mampu memilih dan memilah mana informasi yang dibutuhkan dan mana yang tidak, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.
Yang tidak kalah krusial adalah bagaimana pihak pemerintah mampu menciptakan iklim yang mendorong masyarakat kita berlomba melahirkan konten-konten internet yang menarik dan bermutu, yang pada gilirannya bakal membuat warga negeri ini kian produktif.
Tindakan memblok akses layanan media sosial demi mencegah beredarnya kabar-kabar bohong dan provokasi sama sekali tidak dibutuhkan tatkala warga negeri ini telah memiliki kesadaran digital yang mumpuni.
2. Pasal dan UUD
Sebagai salah satu bentuk perwujudan amanat konstitusi pasal 28E ayat (3) UUD 1945, kebebasan berekspresi harus diatur dalam bentuk undang-undang sebagai bentuk penghormatan terhadap hak warga negara. Sebagaimana Putusan MK No 006/PUU-I/2003 yang menyatakan bahwa ketentuan yang menyangkut HAM harus dalam bentuk undang-undang. Dengan kata lain, penghormatan maupun pembatasan terhadap hak dasar tersebut haruslah ditegaskan dalam undang-undang.
Jika dikaji lebih lanjut, dasar tindakan pemerintah dalam membatasi medsos menurut Menkominfo merujuk pada ketentuan dasar manajemen konten dalam UU ITE. Sayangnya, UU ITE tidak menjelaskan secara rinci mengenai hal tersebut dan pemerintah juga tidak menegaskan dalam pasal berapa dan ketentuan apa saja yang dijadikan dasar hukumnya. Namun jika melihat ketentuan lain, hal tersebut dapat ditemukan dalam Permenkominfo No 19/2014 tentang Penanganan Situs Bermuatan Negatif dan Surat Edaran Menkominfo No. 3/2016 tentang Konten Berbahaya.
Harus diakui bahwa kehadiran UU ITE memang menjadi benteng pertahanan sekaligus senjata perlawanan utama dalam menjerat perilaku seseorang yang melawan hukum dalam bermedia sosial. Namun juga harus disadari bahwa implementasi undang-undang tersebut banyak mengandung pasal-pasal kontroversi yang telah berulang kali di-judicial review ke Mahkamah Konstitusi, bahkan tidak jarang juga diserukan agar undang-undang tersebut kembali direvisi.
Beberapa isi pasal UU ITE sebagian besar hanya mengatur penyelesaian secara represif sebagai upaya ultimum remidium (upaya terakhir apabila semua jalan telah ditempuh). Artinya, pasal-pasal tersebut cenderung hanya mengatur ketika perbuatan tersebut telah terjadi (represif). Sementara langkah pemerintah sekarang dalam upaya mengamankan negeri, agar rakyat tidak terprovokasi karena hoaks, merupakan tindakan preventif yang substansi secara detail belum diatur dalam undang-undang tersebut. Sehingga, banyak pihak berspekulasi bahkan menginterpretasi atas implementasi UU ITE tersebut.
Regulasi Medsos
Dalam pandangan realisme hukum atau pemikiran hukum progresif dapat dipahami bahwa hukum selalu berjalan di belakang mengikuti perkembangan masyarakat. Sehingga hukum harus terus berpacu dengan perkembangan dan perilaku manusia. Sementara dalam era globalisasi, masyarakat berkembang dengan sangat cepat dan begitu pesat dalam berperilaku, seperti halnya dalam bermedia sosial.
Medsos sangat berperan penting dalam menggerakkan perubahan masyarakat, sehingga kehadirannya harus diatur sedetail mungkin untuk memastikan tercapainya perbaikan kehidupan sosial dan meminimalisir timbulnya ekses negatif terhadap masyarakat. Karena pada hakikatnya, media merupakan perkara publik dan lingkup kerjanya selalu berada dalam ranah publik (Habermas, 1984).
https://tirto.id/menyaring-informasi-di-media-sosial-b1np
https://kulonprogokab.go.id/v3/portal/web/view_berita/4586/Fenomena-Media-Sosial-Dalam-Penyebaran-Informasi
https://m.detik.com/news/kolom/d-4561974/pembatasan-akses-media-sosialn
https://m.detik.com/news/kolom/d-4562372/hak-akses-terhadap-media-sosial
● terdapat 6 (enam) jenis media sosial, yaitu :
1. Proyek kolaborasi, merupakan website yang memungkinkan pengguna untuk merubah, menambah, maupun menghapus konten, misalnya : wikipedia
2. Blog dan Microblog, merupakan website atau aplikasi yang memberkan kebebasan bagi pengguna untuk berkreasi dan mengungkapkan pendapat, saran, maupun kritik. Sebagai contoh: website pribadi/ organisasi.
3. Konten, merupakan aplikasi yang memberi kesempatan para pengguna untuk berbagi konten. Contohnya: youtube
4. Jejaring sosial, merupakan aplikasi yang memungkinkan pengguna saling terhubung dan berinteraksi secara virtual, saling berbagi informasi, foto, maupun video. Contoh: Facebook, Instagram, Path, Whatsapp dan Telegram.
5. Virtual game World, merupakan aplikasi yang mereplikasikan lingkungan secara tiga dimensi dan memungkinkan berinteraksi dengan pengguna game lainnya, contoh: berbagai game online.
6. Virtual Social World, merupakan aplikasi semacan virtual game namun pada lingkungan yang sosial yang lebih luas, contohnya : secondlife.
● Media Arus Utama vs Media Sosial
Selama puluhan tahun, media arus utama, mulai dari TV, cetak, hingga radio, menjadi sumber informasi utama masyarakat. Kini, di era teknologi, era internet, era media sosial, media arus utama bukan satu-satunya sumber informasi masyarakat. Media sosial kini turut serta memproduksi dan menyebarluaskan informasi dengan caranya sendiri, yang seringkali tak terduga.
Informasi yang dihasilkan oleh media cetak, radio dan TV diolah para jurnalis dengan berpegang teguh pada kode etik jurnalistik. Mereka memproduksi informasi yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya karena melalui proses cek dan ricek yang cukup panjang sebelum dirilis ke publik. Jika pun ada kesalahan atau kurang akurat, media bertanggungjawab untuk merevisi dan memberikan hak jawab.
Sebaliknya, informasi yang diproduksi dan disebarluaskan di media sosial oleh penggunanya adalah informasi yang tidak perlu memenuhi etika jurnalistik karena mereka memang bukan jurnalis. Pengguna media sosial adalah masyarakat, perorangan, yang dapat memproduksi informasi apa saja di berbagai layanan media sosial. Bahkan beberapa orang kini membuka kanal sendiri di telegram untuk menjaring audience dan menyebarkan informasinya, sebagaimana yang sudah lebih dulu terjadi di Youtube.
Selain memproduksi informasi, netizen juga menyebarkan informasi yang didapat dari media arus utama ke media sosial. Ada yang menyebarkan apa adanya, persis seperti yang disajikan media arus utama. Ada yang menafsir dan menulis ulang sesuai tafsirnya, baru kemudian disebarkan ke media sosial.
di tengah banjir informasi seperti ini bagaimana kita menyaringnya?
1. Jangan hanya membaca judul.
Media online atau versi online media arus utama sangat bergantung pada klik. Semakin banyak klik, semakin terbuka peluang mendapat iklan. Agar mendapat klik tinggi dari media sosial, judul harus dibuat semenarik mungkin. Sayangnya, semenarik mungkin itu bisa terjebak menjadi seprovokatif mungkin, yang seringkali melenceng dari isi berita. Judul berita provokatif tak selalu sama dengan isi berita. Karena itu jangan terkecoh oleh judul. Jika ingin menyebarkannya, baca dulu isinya. Pastikan judul dan isi memang selaras.
2. Cek dan Ricek.
Media boleh memihak. Itu hak media, namun berita yang diproduksinya harus taat kaidah jurnalistik. Pembaca, artinya kita semua, mesti lebih rajin melakukan cek dan ricek terlebih dulu sebelum menjadikannya sebagai referensi. Cek ke media lain, yang menjadi lawannya, bagaimana sudut pandang media tersebut terhadap hal yang sama.
Pada kasus apakah Gubernur DKI, Ahok menghina agama Islam atau tidak ketika bicara di Pulau Seribu, media memiliki sudut pandang yang berbeda. Yang berpendapat tidak menghina, akan mengakomodir berita dan kolom yang mendukung pendapat itu. Sebaliknya yang berpendapat Ahok menghina, rajin membuat berita dan memuat kolom yang sependapat.
Saya biasanya membandingkan informasi dari tiga media yang berbeda untuk menyaring informasi. Jika sebuah berita hanya dimuat di satu atau media, saya cenderung hati-hati menggunakannya sebagai referensi. Jika di tiga media yang berbeda ada kesamaan informasi, barulah saya merasa aman menggunakannya sebagai referensi.
3. Ikuti akun-akun terpercaya.
Kita bisa berkawan banyak di Facebook, bisa mentok sampai 5.000. Kita bebas mengikuti orang lain di Twitter tanpa batasan jumlah, begitu juga di Instagram dan lainnya. Tapi hidup kita akan ruwet jika informasi mengalir terlalu banyak.
Teman di Facebook yang sebenarnya tak pernah kita kenal tapi membanjiri informasi layak di-unfollow, jika enggan untuk unfriend. Demikian pula di Twitter, unfollow saja akun-akun yang berisik dengan informasi tak akurat. Lebih baik kita mengikuti akun-akun terpercaya, meski mereka berbeda pandangan dengan kita.
3. Saring via fasilitas penyaring di media sosial.
Setiap media sosial memiliki fasilitas untuk menyaring informasi, termasuk menyaring kata kunci. Di Twitter, saya menyaringnya dengan cara lain: membuat list akun yang layak dibaca informasinya. Isinya beberapa akun, baik punya kesamaan maupun perbedaan pandangan mengenai isu tertentu, tapi jumlahnya terbatas, paling banyak 100 akun, agar informasi yang mengalir ke otak bersih dari sampah informasi.
Selamat menyaring dan hidup sehat di era digital.
● Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), sebesar 89,35 persen pengguna internet di Indonesia menggunakan internet hanya untuk mengakses aplikasi percakapan (chatting), dan 87,13 persen untuk mengakses media sosial.
Terkait media sosial, kabar buruknya, tentu saja, meskipun media sosial melahirkan sejumlah manfaat, seperti menyambung tali silaturahim, menambah pertemanan dan memperluas jejaring sosial serta relasi bisnis, harus diakui keberadaan situs-situs media sosial ini justru lebih sering dimanfaatkan untuk hal-hal yang tidak produktif.
Salah satu perilaku tidak produktif dalam pemanfaatan media sosial di negeri ini yaitu mengumbar kebencian. Kalau kita buka media sosial, maka selalu saja bisa kita temukan unggahan-unggahan yang bernada kebencian, seperti penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, provokasi, penghasutan, dan penyebaran kabar-kabar bohong, baik yang ditujukan kepada perseorangan, kelompok, maupun lembaga.
Sekarang ini, siapa pun bisa menayangkan apa saja yang dikehendakinya ke media sosial, entah itu berupa teks, gambar, suara, video, maupun melakukan tayangan langsung (live streaming). Meskipun demikian, para pengguna media sosial di negeri ini diharapkan memiliki kemampuan untuk memilih dan memilah mana yang layak dan mana yang tidak layak mereka tayangkan di media sosial.
Generasi muda kita sebagai pengguna terbesar internet sekarang ini dan di masa yang akan datang diharapkan dapat lebih cerdas dan lebih bijak dalam memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Kita sama sekali tidak ingin generasi penerus bangsa ini berperilaku kontraproduktif dan berkarakter buruk yang cuma gemar memaki-maki, menista, memfitnah, menghasut, mengadu domba, gemar menyebarkan kabar-kabar bohong, dan cenderung intoleran serta diskriminatif.
Ini adalah satu tantangan berat bagi para orangtua dan para pendidik kita saat ini. Karenanya, perlu kesadaran semua pihak, termasuk keluarga dan pihak sekolah, untuk dapat semaksimal mungkin mengarahkan anak-anak kita, generasi penerus bangsa, agar mereka mampu menjadi pengguna teknologi digital yang cerdas dan bijak.
Untuk itu, perlu ada upaya membangun dan menanamkan kesadaran digital kepada anak-anak kita sejak dini. Secara sederhana, kesadaran digital dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk menggunakan, memahami, mengevaluasi, menciptakan, dan mengkomunikasikan informasi menggunakan teknologi digital secara tepat guna.
Dengan memiliki kesadaran digital diharapkan individu dapat memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi secara lebih kritis dan lebih bertanggung jawab sehingga mampu memilih dan memilah mana informasi yang dibutuhkan dan mana yang tidak, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.
Yang tidak kalah krusial adalah bagaimana pihak pemerintah mampu menciptakan iklim yang mendorong masyarakat kita berlomba melahirkan konten-konten internet yang menarik dan bermutu, yang pada gilirannya bakal membuat warga negeri ini kian produktif.
Tindakan memblok akses layanan media sosial demi mencegah beredarnya kabar-kabar bohong dan provokasi sama sekali tidak dibutuhkan tatkala warga negeri ini telah memiliki kesadaran digital yang mumpuni.
2. Pasal dan UUD
Sebagai salah satu bentuk perwujudan amanat konstitusi pasal 28E ayat (3) UUD 1945, kebebasan berekspresi harus diatur dalam bentuk undang-undang sebagai bentuk penghormatan terhadap hak warga negara. Sebagaimana Putusan MK No 006/PUU-I/2003 yang menyatakan bahwa ketentuan yang menyangkut HAM harus dalam bentuk undang-undang. Dengan kata lain, penghormatan maupun pembatasan terhadap hak dasar tersebut haruslah ditegaskan dalam undang-undang.
Jika dikaji lebih lanjut, dasar tindakan pemerintah dalam membatasi medsos menurut Menkominfo merujuk pada ketentuan dasar manajemen konten dalam UU ITE. Sayangnya, UU ITE tidak menjelaskan secara rinci mengenai hal tersebut dan pemerintah juga tidak menegaskan dalam pasal berapa dan ketentuan apa saja yang dijadikan dasar hukumnya. Namun jika melihat ketentuan lain, hal tersebut dapat ditemukan dalam Permenkominfo No 19/2014 tentang Penanganan Situs Bermuatan Negatif dan Surat Edaran Menkominfo No. 3/2016 tentang Konten Berbahaya.
Harus diakui bahwa kehadiran UU ITE memang menjadi benteng pertahanan sekaligus senjata perlawanan utama dalam menjerat perilaku seseorang yang melawan hukum dalam bermedia sosial. Namun juga harus disadari bahwa implementasi undang-undang tersebut banyak mengandung pasal-pasal kontroversi yang telah berulang kali di-judicial review ke Mahkamah Konstitusi, bahkan tidak jarang juga diserukan agar undang-undang tersebut kembali direvisi.
Beberapa isi pasal UU ITE sebagian besar hanya mengatur penyelesaian secara represif sebagai upaya ultimum remidium (upaya terakhir apabila semua jalan telah ditempuh). Artinya, pasal-pasal tersebut cenderung hanya mengatur ketika perbuatan tersebut telah terjadi (represif). Sementara langkah pemerintah sekarang dalam upaya mengamankan negeri, agar rakyat tidak terprovokasi karena hoaks, merupakan tindakan preventif yang substansi secara detail belum diatur dalam undang-undang tersebut. Sehingga, banyak pihak berspekulasi bahkan menginterpretasi atas implementasi UU ITE tersebut.
Regulasi Medsos
Dalam pandangan realisme hukum atau pemikiran hukum progresif dapat dipahami bahwa hukum selalu berjalan di belakang mengikuti perkembangan masyarakat. Sehingga hukum harus terus berpacu dengan perkembangan dan perilaku manusia. Sementara dalam era globalisasi, masyarakat berkembang dengan sangat cepat dan begitu pesat dalam berperilaku, seperti halnya dalam bermedia sosial.
Medsos sangat berperan penting dalam menggerakkan perubahan masyarakat, sehingga kehadirannya harus diatur sedetail mungkin untuk memastikan tercapainya perbaikan kehidupan sosial dan meminimalisir timbulnya ekses negatif terhadap masyarakat. Karena pada hakikatnya, media merupakan perkara publik dan lingkup kerjanya selalu berada dalam ranah publik (Habermas, 1984).
https://tirto.id/menyaring-informasi-di-media-sosial-b1np
https://kulonprogokab.go.id/v3/portal/web/view_berita/4586/Fenomena-Media-Sosial-Dalam-Penyebaran-Informasi
https://m.detik.com/news/kolom/d-4561974/pembatasan-akses-media-sosialn
https://m.detik.com/news/kolom/d-4562372/hak-akses-terhadap-media-sosial
Komentar
Posting Komentar